STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2) 14
STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR (2)
(Analisis Hukum Kasus BLBI)
Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan
nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut
dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum
Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitakan
dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat
berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI.
Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus
BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari
kepastian hukum.
Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan
perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI.
Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam ranah
hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi
sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap
kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontroversi.
BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas
yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan
nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya.
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa kebijakan itu ditempuh untuk tujuan
menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan
berimplikasi terhadap perekonomian nasional. Akan teatpi, persoalannya kemudian
adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian
penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak
digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya
terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan
jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang
berada dalam lapangan huukm keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh
adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan
dibitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank
penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI
oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak
ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk me’imburse”
transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau
penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata
merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar
kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan.
Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan
dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi
rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 jo UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses
peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Meskipun demikian, kita tentu
tidak boleh menggeneralisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum
dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi
semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum
keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan
BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya:
a. Pemberian BLBI dlakukan kepada pihak yang tidak pantas
menerimanya
b. Konspirasi antara “oknum Bank Indonesia” dengan bank penerima
BLBI
c. Pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya
d. Penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI
Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana
BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan
hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan
pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauh mana dan
dalam hal-hal apa sajakah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat
diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI.
Pembuat Undang-Undang Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan
yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan
tersebut meliputi:
a. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan
b. Tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank
c. Tindak pidana perbankan di bidang pengawasan
d. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha
bank (kolusi manajemen)
e. Tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi
Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan tidak ada
satu
rumusan pun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku
penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu, kasus-kasus BLBI yang mengandung
indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan dana BLBI yang dilakukan oleh
pemerintah, kepada bangsa ini telah dipertontonkan adanya kontradiksi antara
keinginan untuk menegakkan supremasi hukum pada satu sisi dengan realitas
tentang betapa hukum (khususnya hukum pidana) telah “dikorbankan” untuk
memenuhi kebijakan pemulihan ekonomi pada sisi yang lain. Dengan alasan untuk
menyelamatkan keuangan negara dari para pelaku ekonomi yang nakal, maka
perbuatan-perbuatan yang dalam perspektif hukum pidana telah memenuhi unsur
delik, ternyata hanya diselesaikan dengan cara-cara yang justru semakin menjauh
dari cita-cita penegakan supremasi hukum.
Kebijakan pemberian “release and discharge” bagi para debitur nakal yang
melakukan penyimpangan dana BLBI secara besar-besaran sebagaimana dituangkan
dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 telah mengakibatkan implikasi yang negatif,
yaitu:
· Memperlemah daya laku hukum pidana untuk
menyeret para pelaku ke dalam proses peradilan pidana.
· Kebijakan tersebut dinilai sebagai sesuatu
yang kontradiktif dalam penegakan supremasi hukum
· Kebijakan tersebut juga telah memperagakan
adanya diskriminasi dalam penegakan hukum pidana di bidang perbankan. Dimana
dengan kebijakan tersebut pelanggaran-pelanggaran hukum pidana dalam kaitannya
dengan pemberian BLBI dapat dikesampingkan manakala penerima BLBI bersikap
kooperatif dalam pengembalian utangnya. Artinya, para pelaku penyimpangan dana
BLBI yang secara faktual telah memenuhi rumusan hukum pidana dibebaskan dari
kemungkinan adanya tuntutan pidana atas pelanggaran-pelanggaran hukum pidana
yang telah dilakukannya apabila yang bersangkutan melunasi utangnya. Pemberian
pembebasan dari tuntutan pidana seperti itu adalah tidak logis dan tidak
dikenal dalam ajaran hukum pidana. Hukum pidana hanya mengajarkan, bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara (dalam hal ini adalah kerugian sebagai
akibat penyimpangan dana BLBI) tidak menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999. Jadi sekalipun utang yang timbul dari BLBI dilunasi oleh penerimanya,
namun tidak dapat mengakibatkan dihapuskannya tuntutan pidana apabila dalam
penyaluran dan penerimaan BLBI itu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang
mengandung indikasi kriminal. Oleh karena itu, kalau kita ingin konsisten
dengan penegakan supremasi hukum, maka penyimpangan-penyimpangan yang
mengandung indikasi kriminal dalam praktek perbankan seperti itu harus
diteruskan ke dalam proses peradilan pidana tanpa mempertimbangkan apakah
pelakunya kooperatif atau tidak dalam melunasi utang-utangnya.
· Pemberian “release and dischange” adalah
sebuah inkonsistensi yang menampakkan secara nyata adanya ketidakadilan,
sehingga dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat. Kebijakan tersebut
telah melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang
diakui dan diterima sebagai asas fundamental oleh bangsa-bangsa beradab,
sehingga perlu dituangkan dalam konstitusi sebagai “constitutional right”.
Kalaupun ada kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI yang telah
diproses dengan hukum pidana, itu tidaklah mendapatkan respons
hukum yang memadai. Ada kasus-kasus yang telah berada pada tahap penyidikan,
tapi kemudian dihentikan penyidikannya karena adanya berbagai intervensi. Ada
pula kasus-kasus yang telah diajukan ke pengadilan, tapi kemudian pelakunya
dilepaskan atau dibebaskan. Ada pula yang pelakunya dinyatakan terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian dipidana, tapi sebelum dieksekusi
terpidanan telah kabur atau melarikan diri terlebih dahulu ke luar negeri.
Bahkan ada pula yang diadili secara in-absentia, meskipun pelaku dipidana,
namun hukum tidak dapat berbuat banyak karena pelakunya tidak bisa
diekstradisi. Fakta-fakta seperti itu dapat menggambarkan kondisi tentang
betapa bobroknya penegakan hukum di republik ini.
Adanya tarik ulur secara politis antara DPR dan pemerintah dalam penyelesaian
masalah BLBI patut pula ditanggapi atau bahkan dicurigai adanya sesuatu yang
tidak beres dalam penyelesaian masalah BLBI. Dengan segala hak konstitusional
yang dimiliki DPR, tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah dengan
segala argumentasinya.
Ketidakberesan lain dalam penanganan kasus BLBI semakin terkuak dengan
tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Urip
kemudian ditetapkan sebagai tersangka menerima suap terkait dengan penangangan
penghentian penyidikan kasus BLBI atas nama Syamsul Nursalim.
Pasca tertangkapnya Urip ada keinginan untuk mendesak agar KPK mengambil alih
penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI, baik yang ditangai oleh kejaksaan
maupun yang ditangani oleh Kepolisian. Persoalan hukum yang timbul kemudian
adalah perdebatan tentang apakah KPK mempunyai kewenangan untuk menangani
kasus-kasus yang terjadi sebelum komisi itu terbentuk atau tidak. Hal ini
terkait dengan asas nonretroaktif (tidak berlaku surut) yang diperdebatkan,
yang merupakan konsekuensi yuridis dari asas legalitas (Pasal I ayat (1) KUHP)
sebagai suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Dalam konteks asas itu,
hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan-perbuatan yang terjadi
sebelum undang-undang diberlakukan.
Tetapi hal ini sebetulnya bukan suatu masalah karena sasaran dari asas
nonretroaktif ini adalah perbuatan atau perilaku yang dapat dipidana, sehingga
ia berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil. Sedangkan kewenangan
penyidikan berada dalam ranah hukum pidana formal, sehingga dengan demikian
kewenagangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus penyalahgunaan
dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif. Hanya saja persoalan
selanjutnya adalah apakah KPK memiliki keberanian untuk mendobrak pemahaman
yang sempit tentang asas nonretroaktif. Namun keberanian itu perlu didukung
oleh kesamaan persepsi antara sesama aparat penegak hukum dalam konteks sistem
peradilan pidana.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa pemikiran konklusif sebagai
berikut:
1. Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah
perbuatan melawan hukum, sehingga memenuhi rumusan perundang-undangan pidana
sebagai tindak pidana korupsi
2. Pemberian “release and discharge” sebagai tertuang dalam Inpres
Nomor 8 Tahun 2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah
“menjungkirbalikkan” asas-asas hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara
hukum, dan dapat mengakibatkan difungsionalisasi hukum pidana
3. Kewenangan KPK untuk mengambil alih penanganan kasus-kasus
penyalahgunaan dana BLBI tidak perlu dikaitkan dengan asas nonretroaktif,
karena sasaran dari asas nonretroaktif adalah perbuatan sebagai sesuatu yang
berada dalam ruang lingkup hukum pidana materiil.
STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR 13
STUDI KASUS: KORUPSI DI LINGKUNGAN SEKITAR
(Maraknya korupsi para petinggi negara kita yang membuat
carut marut birokrasi di era reformasi kita)
Maraknya pelanggaran tindak pidana korupsi di
tanah air tercinta ini ibarat bola panas menggelinding tiada haenti-hentinya
yang setiap saat bisa menghantam satu demi satu para oknum petinggi negara baik
yang duduk di lembaga Eksekutip, Legislatip, dan lembaga Yudikatip. Oknum-oknum
tersebut telah berbuat kejahatan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan
wewenang dan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk melakukan tindak pidana
korupsi keuangan negara, sehingga negara telah dirugikan sangat besar nilainya.
Oknum-oknum petinggi negara yang telah melakukan kejahatan
tindak pidana korupsi keuangan negara tersebut telah mencemarkan dan merusak
institusi masing-masing dimana mereka duduk menjabat. Dampaknya telah merugikan
rakyat bangsa dan negara. Sebut saja diantaranya oknum-oknum tersebut yang
telah merugikan rakyat bangsa dan negara antara lain:
1.
Tindak
pidana korupsi di institusi penegak hukum kepolisian (sebagai kepanjangan
tangan lembaga yudikatif)
Yaitu oknum Jenderal Djoko Susilo dan Brigjen
Didiek Purnomo yang oleh pihak KPK telah ditetapkan sebagai tersangka tindak
pidana korupsi pengadaan mesin simulator pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi)
yang bernilai Rp100 miliar dan ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan pada
27 Juli 2012, dan di jerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun
2001 tentang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang
Penyalahgunaan Wewenang dan Perbuatan Memperkaya Diri sehingga merugikan
keuangan negara dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Hukuman penjara yang dijatuhkan oleh pihak KPK pada kroni-kroni
Jenderal Djoko Susilo yang telah terbukti melakukan kerjasama tindak pidana
korupsi telah merugikan keuangan negara Rp100 miliar antara lain Brigjen Didiek
Purnomo (Wakil Kepala Korlantas - non aktif), Budi Susanto (Direktur Utama PT
Citra Mandiri Metalindo Abadi), perusahaan pemenang tender pengadaan simulator,
dan Sukotjo S. Bambang (Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia) yang menjadi
perusahaan sub-kontraktor dari PT CMMA. Sukotjo S. Bambang telah di vonis
penjara 2.5 tahun oleh pengadilan dan sekarang telah mendekam di rutan Kebon
Waru Bandung. Ia dituduh atas perkara penggelembungan proyek simulator.
2.
Tindak
Pidana Korupsi di Lembaga Eksekutif
Sebagai contoh adalah mantan Menteri Kemenpora
Andi Alfian Mallarangeng dan mantan Seskemenpora Wafid Muharram yang telah
dijadikan tersangka oleh KPK karena di duga terlibat langsung dalam tindak
pidana korupsi kasus Hambalang yang melibatkan banyak pihak pejabat tinggi
negara bahkan juga telah menyeret Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardoyo yang
di duga terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang karena Menteri
Keuangan ini adalah pihak yang telah menandatangani pencairan dana proyek
Hambalang sebesar Rp1,2 triliun.
Menteri keuangan marah dan tidak terima
dituduh terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Menurutnya bila berkaca
pada undang-undang keuangan negara yang paling tahu anggaran adalah pengguna
anggaran itu sendiri diundang-undang pun jelas, di undang-undang, pengguna
anggaran yang bertanggung jawab atas perencanaan anggaran, penggunaan anggaran sampai
dengan pertanggungjawaban atas anggaran, dan pelaporan. Jadi menurutnya, yang
paling bertanggung jawab dalam kasus ini adalah mantan Menteri Kemenpora Andi
Alfian Mallarangen dan sekretaris menterinya Wafid Muharram yang telah
diberhentikan dari jabatannya sebagai Sesmenkemenpora.
Kasus kejahatan tindak pidana korupsi keuangan negara ini
diperkirakan masih terus menggelinding ibarat bola panas yang akan terus
membentur oknum-oknum petinggi negara lainnya yang terlibat namun belum
terungkap pelanggaran kasus tindak pidana korupsi yang dilakukannya; dan
diharapkan oleh semua pihak agar KPK lebih gigih lagi bisa mengungkap dan
menindak tegas tanpa pandang bulu bagi para pelaku tindak pidana korupsi
keuangan negara, dengan diberikan sanksi hukuman penjara seberat-beratnya
dengan denda sebesar-besarnya serta penyitaan harta hasil korupsi yang
dilakukannya.
3.
Tindak
Pidana Korupsi di Lembaga Legislatif
Oknum anggota legislatif (DPR RI) yang sedang hangat-hangatnya
menjadi berita di berbagai media adalah Angelina Sondakh yang di
duga telah melakukan tindak pidana korupsi pembahasan anggaran proyek di
Kemenpora dan Kemendiknas. Politisi muda partai Demokrat yang juga mantan Putri
Indonesia 2001 ini telah dituntut oleh jaksa penuntut umum KPK, Kresno Anto
Wibowo, di pengadilan Tipikor Jakarta Kamis 20 Desember 2012 dengan
tuntutan penjara 12 tahun, denda Rp500 juta, dan sita uang pengganti
hasil uang korupsi sebesar Rp35 miliar.
Oknum anggota DPR RI dari politisi partai Demokrat lainnya yang terlibat yaitu;
M. Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat) yang telah terbukti
melakukan tindak pidana korupsi, penyelewengan keuangan negara atas proyek
Wisma Atlet, Hambalang dan sebagainya yang telah melibatkan banyak petinggi
negara baik di lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga yudikatif dan
bahkan pihak swasta terlibat. Saat ini M. Nazaruddin harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan berada di rumah tahanan.
Maraknya berbagai kasus kejahatan tindak pidana korupsi tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa: di birokrasi pemerintahan era reformasi sekarang ini
terdapat pelanggaran tindak pidana korupsi yang merajalela dan mewabah yang
telah dilakukan oknum-oknum di lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga
yudikatif sehingga menunjukan dan membuktikan betapa carut marutnya negeri ini
dan
Nampak makin jauh rasa keadilan dan
kesejahteraan kemakmuran rakyat indonesia. Padahal dalam sila ke lima
dalam Pancasila tertulis “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” apakah
hal ini masih merupakan harapan dan impian atau merupakan sebuah keniscayaan
belaka bagi bangsa ini. Kiranya sungguh mengerikan bila wabah bencana
kejahatan tindak pidana korupsi ini tidak ada yang bisa menghentikan di negeri
ini, maka tinggal menunggu tanggal mainnya kehancuran negeri tercinta ini yang
hanya merupakan negeri dongeng seribu satu malam belaka.
PENCEGAHAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI 12
PENCEGAHAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
1.
Konsep Pemberantasan Korupsi
Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana
untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu
negara. Ada yang mengatakan bahwa korupsi ibarat penyakit kanker “ganas” yang
sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah
negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek
bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas.
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai upaya
pemberantasan korupsi, berikut pernyataaan Fijnaut dan Huberts (2002) mengenai
strategi atau upaya pemberantasan korupsi:
It is always necessary to relate anti-corruption strategies to
characterictics of the actor involved (and the environment they operate in).
there is no single concept and program of good governance for all countries and
organization, there is no “one right way”. There are many initiatives and most
are tailored to specifics contexts. Societies and organizations will have to
seek their own solutions.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa penting untuk menghubungkan
strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari
berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan dimana mereka bekerja atau
beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep, atau program tunggal untuk setiap negara
atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara, atau upaya yang kesemuanya
perlu disesuaikan dengan konteks, masyarakat, maupun organisasi yang dituju.
Setiap negara, masyarakat, maupun organisasi perlu mencari cara mereka sendiri
untuk menemukan solusinya.
Upaya yang paling tepat memberantas korupsi adalah dengan memberikan pidana
atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Jika memang demikian, bidang
hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat
untuk memberantas korupsi. Benarkah demikian?
2.
Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulanagn kejahatan atau yang
biasa dikenal dengan istilah politik kriminal (criminal politics) oleh G. Peter
Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Arief, 2008):
1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)
2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without
punishment)
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on
crime and punishment/mass media) ataupun melalui media lainnya seperti penyuluhan
dan pendidikan.
Melihat perbedaan tersebut, secara garis besar upaya
penanggulangan
kejahatan dapat dibagi menjadi dua yaitu jalur penal
(menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum
pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Arief upaya
penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat
repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi.
Sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat
dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun
untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari
KPK yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Sasaran utama upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (dalam hal ini
korupsi). Faktor-faktor kondusif berpusat pada masalah atau kondisi politik,
ekonomi, maupun sosial yang secara langsung atau tak langsung dapat menimbulkan
atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi). Dengan demikian upaya non-penal
seharusnya menjadi kunci ataum memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya
politik kriminal.
Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau
dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan bagi pelaku
korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki
“keterbatasan” dan mengandung beberapa “kelemahan” (sisi negatif)
sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara “subsidair”. Pertimbangan
tersebut adalah (Arief, 1998):
· Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana
merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus
digunakan sebagai ultimatum remedium (obat terakhir apabila cara lain atau
bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi)
· Dilihat secara fungsional (pragmatis),
operasionalisasi, dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi
· Sanksi pidana mengandung sifat
kontradiktif/pradoksal yang mengandung efek sampingan negatif. Hal ini dapat
dilihat dari kondisi overload Lembaga Permasyarakatan
· Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi
kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala). Hanya
merupakan obat simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab
kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana
· Hukum pidana lainnya yang tidak mungkin
mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat
kompleks
· Sistem pemidanaan bersifat framentair dan
individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional
· Efektivitas pidana (hukuman) bergantung pada
banyak faktor dan masing sering diperdebatkan opleh para ahli.
3.
Berbagai Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi
United Nations mengembangkan berbagai upaya atau strategi untuk
memberantas korupsi yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkits (UNODC, 2004):
3.1. Pembentukan
Lembaga Anti Korupsi
a. Membentuk lembaga independen yang khusus menangani korupsi. Di
Hongkong bernama Independent Commission
Against Corruption (ICAC), di Malaysia the Anti-Corruption Agency (ACA), dan di Indonesia: KPK
b. Memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga Permasyarakatan. Pengadilan
adalah jantung penegakan hukum yang harus bersikat imparsial (tidak memihak),
jujur, dan adil. Banyak kasus korupsi tidak terjerat hukum karena kinerja
lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerja buruk karena tidak mampu
(unable) mungkin masih bisa dimaklumi karena berarti pengetahuan dan
keterampilannya perlu ditingkatkan. Bagaimana bila mereka tidak mau (unwilling)
atau tidak punya keinginan kuat (strong political will) untuk memberantas
korupsi? Dimana lagi kita akan mencari keadilan?
c. Di tingkat departemen kinerja lembaga-lembaga audit seperti
Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Ada kesan lembaga ini sama sekali
tidak punya ‘gigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat
tinggi
d. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah
satu cara mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk
mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan terjadinya korupsi
e. Hal lain yang krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah
dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi
Daerah diberlakukan umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Pada
waktu itu korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota Negara. Dengan
otonomi, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara tapi
berkembanga ke berbagai daerah
f. Dalam berbagai pemberitaan di media-media,
ternyata korupsi juga banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat
(DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang
untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru melakukan korupsi yang
“dibungkus” rapi.
3.2. Pencegahan Korupsi di Sektor
Publik
a. Salah satu cara mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan
pejabat publik melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik
sebelum dan sesudah menjabat. Masyarakat ikut memantau tingkat kewajaran
peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika
kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya ke
orang lain.
b. Pengadaan barang atau kontrak pekerjaan di pemerintahan pusat
dan daerah maupun militer sebaiknya melalui lelang atau penawaran secara
terbuka. Masyarakat diberi akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil
pelelangan tersebut.
c. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekrutan pegawai negeri dan
anggota TNI-Polri baru. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sering terjadi dalam
proses rekrutmen tersebut. Sebuat sistem yang transparan dan akuntabel dalam
hal perekrutan perlu dikembangkan.
d. Sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang
menitik-beratkan pada proses (process oriented) dan hasil kerja akhir (result
oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi
kerjanya, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diber insentif.
3.3. Pencegahan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat
a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah dengan memberi hak
kepada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi. Perlu dibangun
sistem dimana masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala
informasi sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak.
b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran dan kepedulian
publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat merupakan salah
satu bagian penting upaya pemberantasan korupsi. Salah satu cara meningkatkan
public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi.
c. Menyediakan sarana untuk melaporkan kasus korupsi. Misalnya
melalui telepon, surat, faksimili (fax), atau internet.
d. Di beberapa negara pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama
baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi,
dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi lebih besar daripada kepentingan
individu.
e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar demokrasi. Semakin
banyak informasi yang diterima masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya
korupsi
f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingkat lokal
maupun internasional juga memiliki peran penting untuk mencegah dan memberantas
korupsi. Sejak era Reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti Korupsi
banyak bermunculan. LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas
perilaku pejabat publik. Contoh LSM lokal adal ICS (Indonesian Corruption
Watch).
g. Cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan
menggunakan perangkat electronic surveillance. Alat ini digunakan untuk
mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang
dipasang di tempat-tempat tertentu. Misalnya kamera video (CCTV).
h. Melakukan tekanan sosial dengan menayangkan
foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan
perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.
D. Andhi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (2011)
menjelaskan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan
terdapat empat hal bisa dijadikan bahan renungan dan pemikiran:
1. Harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangka pencegahan
dan pemberantasan korupsi
2. Revitalisasi dan reaktualisasi peran dan fungsi aparatur penegak
hukum yang menangani perkara korupsi
3. Reformulasi fungsi lembaga legislatif
4. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dimulai dari diri sendiri dari hal-hal yang kecil dan mulai hari ini agar
setiap daerah terbebas dari korupsi (Miranis, 2012).
3.4.
Pengembangan dan Pembuatan Berbagai Instrumen Hukum yang Mendukung Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi
Dukungan terhadap
pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan satu
instrumen hukum yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu
dikembangkan. Perlu peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberantasan
korupsi yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau pencucian uang.
Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum
berupa Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan pers,
perlu UU yang mengatur pers yang bebas. Perlu mekanisme untuk mengatur
masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan elektronic
surveillance agar tidak melanggar privacy seseorang. Hak warganegara untuk
secara bebas menyatakan pendapatnya juga perlu diatur. Selain itu, untuk
mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrumen kode etik yang ditujukan
kepada semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif, maupun code of
conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, dan peradilan).
3.5. Pemantauan dan Evaluasi
Perlu pemantauan dan evaluasi terhadap seluruh
pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi agar diketahui capaian yang telah
dilakukan. Melalui pemantauan dan evaluasi dapat dilihat strategi atau program
yang sukses dan gagal. Program yang sukses sebaiknya silanjutkan, sementara
yang gagal dicari penyebabnya.
Pengalaman di negara lain yang sukses maupun gagal dapat
dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya, maupun
program permberantasan korupsi di negara tertentu.
3.6. Kerjasama Internasional
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam memberantas korupsi adalah
melakukan kerjasama internasional baik dengan negara lain maupun dengan
International NGOs. Sebagai contoh di tingkat internasional, Transparency
International (TI) membuat program National Integrity Sistem. OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh PBB
untuk mengambil langkah baru dalam memerangi korupsi di tingkat internasional
membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A
Framework for Integrity.
TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA 11
TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA
1.
Pengertian Korupsi
Kata ‘Korupsi’ berasal dari bahasa Latin ‘corruptio’ (Fockema
Andrea: (1951) atai ‘corruptus’ (Webster Student Dictionary” 1996). Selanjutnya
dikatakan bahwa ‘corruptio’ berasal dari kata ‘corrumpere’, suatu bahasa Latin
yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilan
‘corruption, corrupt’ (Inggris), ‘corruption’ (Perancis) dan
‘corruptie/korruptie’ (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian (S. Wojowasito-WJS Purwadarminta: 1976).
Menurut Muhammad Ali: 1993, pengertian Korupsi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi
Dengan demikian arti kata Korupsi adalah sesuatu yang busuk,
jahat, dan
merusak. Berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi
menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan busuk, menyangkut
jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam
jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan
keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Menurut Baharudi Lopa mengutip David M. Chalmers, istilah korupsi dalam
berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan
dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan
umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and
deliction injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti:
2008).
2.
Bentuk-bentuk Korupsi
Menurut KPK (2006) bentuk korupsi ada tujuh macam, yaitu:
1. Kerugian uang negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
3.
Jenis Tindak Pidana Korupsi
Bentuk atau jenis tindak pidana korupsi dan
tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi berdasarkan UU Tindak Pidana
Korupsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan
Negara
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan
dapat merugikan keuangan Negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap
6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan
jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pengawai negeri
menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri
memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12. Pegawai negeri
merusakkan bukti
13. Pegawai negeri
membiarkan orang lain merusakkan bukti
14. Pegawai negeri
membantu orang lain merusakkan bukti
15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras
pegawai yang lain
17. Pemborong berbuat
curang
18. Pengawas proyek
membiarkan perbuatan curang
19. Rekanan TNI/POLRI
berbuat curang
20. Pengawas rekanan
TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
21. Penerima barang
TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot
tanah Negara sehingga merugikan orang lain
23. Pegawai negeri turut
serta dalam pengadaan yang diurusnya
24. Pegawai negeri
menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25. Merintangi proses
pemeriksaan
26. Tersangka tidak
memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27. Bank yang tidak
memberikan keterangan rekening tersangka
28. Saksi atau ahli yang
tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
29. Orang yang memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor
4.
Gratifikasi
Menurut Black’s Law Dictionary, Gratification:
“a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit”. Artinya
Gratifikasi adalah sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu
bantuan atau keuntungan.
Bentuk gratifikasi bisa bersifat positif maupun negatif.
· Gratifikasi Positif
Pemberian hadiah yang diberikan dengan niat yang tulus dari
seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda
kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun.
· Gratifikasi Negatif
Pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis
ini yang telah membudaya di kalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya
interaksi kepentingan.
Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan penjelasannya didefinisikan sebagai berikut:
“Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya”
Apabila seorang
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara menerima suatu pemberian, maka ia
mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana diatur dalam Pasal
12C UU No. 20 Tahun 2001.
5.
Penyebab Korupsi
Begitu parahnya perilaku Korupsi di negeri ini, sampai-sampai
muncul anekdot bahwa di negeri ini jika kita melakukan hal yang benar malah
dianggap salah. Banyak faktor penyebab korupsi. Secara umum faktor penyebab
korupsi dapat dibagi menjadi 2 yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
1. Faktor Internal
a. Aspek Perilaku Individu:
· Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu
kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki
sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab
tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus.
Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
· Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan
tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya,
seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.
· Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota
besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumptif. Perilaku konsumtif yang
tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi
seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
b. Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi
pendorong seseorang untuk berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris,
lingkungan keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi,
mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya.
Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman atas tindakan koruptif
seseorang.
2. Faktor Eksternal
a. Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi
menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah
organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak
korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk.
Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:
· Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang
mendukung untuk terjadinya
korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena
kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap
kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
· Masyarakat menganggap bahwa korban yang
mengalami kerugian akibat
tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya
kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi
anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan transportasi umum menjadi
terbatas misalnya.
· Masyarakat kurang menyadari bila dirinya
terlibat dalam perilaku korupsi.
Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun
masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan
cara-cara terbuka namun tidak disadari.
· Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi
dapat dicegah dan
diberantas bila
masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Umumnya masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah
tanggung jawab pemerintah.
b. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering
membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi
seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c. Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi,
yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para
pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu
Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the
pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh
pengaruh politik).
Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi
antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri
di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang sering
dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat
menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi
karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000).
Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:
· Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh
pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin memberikan contoh
keteladanan melakukan tindak korupsi, maka bawahannya juga akan mengambil
kesempatan yang sama dengan atasannya.
· Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang
Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan
jelas. Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota
organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tujuan
organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai tat-cara dalam kelompok;
juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan cara terbaik dalam
melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan. Tatacara pencapaian tujuan dan
pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur
organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti standar-standar yang jelas
tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Kekuatan pemimpin menjadi
penentu karena memberikan teladan bagi anggota organisasi dalam mebentuk budaya
organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak
ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma justru
berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak
korupsi adalah tindakan yang salah).
· Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang
diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya.
Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi dapat dengan mudah
dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan target
kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran
kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam organisasi.
· Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau
pegawai di dalamnya.
· Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu
pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin)
dan pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal
ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini kurang
berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang tindihnya
pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta
kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintah oleh pengawas itu
sendiri.